Fredrix,
Gagal itu biasa!
Stop! Aku tidak mau menjadi suatu standar rendah dalam
perbandingan kehidupan yang berbeda ini. Aku tidak mau merasa dikucilkan, jauh
dan sepi dengan perbedaanku ini. Aku tidak mau dipaksa bertindak terlalu jauh
dari sisi hatiku. Aku tidak mau dipaksakan kepuasan orang lain. Aku ya aku,
bukan kamu! Bukan dia! Bukan siapa-siapa! Aku ya aku, Fredrix William. Fredrix
nama orang terkemuka dan jenius yang selalu dikagumi. Dan aku berkata bahwa
nama William dinamaku itu, memiliki makna yang jauh lebih berharga yaitu WILL I
AM be a great young boy who can hold this world with his arm!!! Terlalu muluk?
Tentu saja, cita-cita itu harusnya muluk dan membuat siapapun terlena
membayangkannya. Seorang penghayal tingkat tinggi seperti ku ini tentu memiliki
banyak hal untuk menjadi pencapaiannya. Meskipun, aku tau! Lagi-lagi dan lagi
aku harus tahu diri bagaimana diriku menjalani dunia kecil yang terselimuti
kabut bernama sekolah itu aku jalani dengan BIASA. Catat lagi! Bahwa aku
menjalaninya dengan BIASA! Oh, sayang sekali bukan.
Banyak anak jenius di sekolah
sana, tapi aku tak peduli.
Banyak yang pandai dalam
berbagai mata pelajaran, lagi-lagi aku tak peduli.
Mereka memiliki banyak
prestasi! Ahh, bukan itu yang aku mau.
Mereka akan menjadi kandidat
The Best Student Olympiad Oktober ini! Who cares?
Kamu terlalu sibuk dengan hal
bodoh yang berukuran 10 inci itu! Apalagi ini? Jangan ganggu aku dengan
urusanku!
Kamu terlalu menyesatkan diri
ingin menjadi sesuatu yang LEBIH tapi kamu masih mengerjakan hal BIASA! Aku
memiliki jalan berbeda.
Lalu apa? Kamu memiliki
planning yang tepat saja belum! Aku sedang menjalankannya, bersabarlah.
Apa itu? Bukankah kamu memiliki
waktu yang sangat banyak dengan membuangnya untuk mengurusi si 10 inci! Aku sedang
melakukan proses belajar!
Belajar? Kamu belajar atau
bermain? Bukankah kamu terlalu sibuk memikirkan hal-hal yang tak penting! Tak
penting? Bagiku belajar juga bermain, bukan hanya sekedar membaca buku setebal
bantal dan tertidur.
Hah? Kamu merasa baik-baik saja
dengan hal yang kamu peroleh selama ini?! Tentu saja, aku merasa mendapatkan
apa yang semestinya aku dapatkan bukan mendapatkan lebih karena “PENCITRAAN”.
Pencitraan? Maksud kamu?! Aku
bukan seorang yang memiliki hubungan social yang baik dengan orang lain
utamanya guru! Nilai bukanlah standar!
Bagaimana dengan orang tuamu?
Apakah dia tidak keberatan?! Apa? Mereka terlalu sibuk untuk mengejar target
mereka, aku tidak menuntut banyak karena aku tidak mau dituntut banyak.
Hidupmu sangat BIASA! Lantas?
Apakah aku harus berubah menjadi orang lain yang jelas-jelas aku TIDAK MAU!
Fredrix, kamu tidak mau menjadi
seorang ilmuan seperti dia? Tidak! Fredrix yang sekarang bukanlah Fredrix si
Ilmuan berambut gimbal dan membawa diktat tebal kemana-mana. Aku bukan
PLAGIATOR!
Mencontoh hal baik itu perlu
demi kebaikanmu! Aku? Sepertinya mencontoh membuat kebanyakan orang saat ini
menjadi peniru dan PENJIPLAK! Padahal jelas sekali mereka tak mampu!
Kamu terlalu keras kepala dan
aku tidak mengerti apa yang kau pikirkan! Kenapa juga kamu sibuk memikirkanku!
Cukup satu kepala ini yang bekerja dan seutuhnya tubuh ini yang bertindak!
Jangan pedulikan aku, aku tidak ingin menyusahkan!
Willy, kamu terlalu jahat! Aku
tidak akan menemuimu lagi! Alah, bohong! Kamu milikku, mana bisa tidak ketemu.
Kamu ya aku, aku ya kamu.
Willy, kamu tidak berubah!
Sampai berapa kali aku harus bilang sih. Aku ya aku FREDRIX WILLIAM!
Willy, aku bosan dan kenapa
kita tak melakukan hal yang baru! Kamu tidak sabaran! Aku sedang menyusun
strategi! Sebentar lagi semuanya akan COMPLETE!
Willy, kau menyembunyikan
sesuatu! Bahkan kepadaku.
----------------------------tit
tit tiiitttt--------------------------
Bunyi bel yang membangunkan aku dari mimpi aneh itu. Yah,
mimpi mengerikan dengan sederetan pertanyaan tanpa henti. Bahkan, pertanyaan
itu terlalu menyudutkan dan memaksa! Pertanyaanya semakin lama menjadi
pernyataan yang mendesak. Ahh, aku tidak bisa mengingatnya. Apa itu? Siapa dia?
Pertanyaan dan panggilan namaku yang iih “menjijikkan”. Willy? Sebutan macam
apa itu!? Sungguh, aku tidak bisa menyelaraskan otakku saat menjawabnya. Bunga
tidur yang sangat menyesakkan. Kenapa juga aku bisa tertidur dan bermimpi
panjang di tempat seperti ini. Atap sekolah. Untung saja buku ini tidak basah
saking larutnya aku tertidur. Uhh, menggeliat rasanya membuat ikatan diseluruh
tendon ini cukup bebas. Brrr.. Aku harus cuci muka! Sebelum jam pelajaran guru
“killer” itu dimulai. Tidak terbayang jika harus mendengar ocehannya jika aku
terlambat masuk. Apa? 10:40? 5 menit berjalan! Semoga dia belum masuk ke kelas.
Aku harus cepat! Uh uh uh..
Sepertinya pelajaran belum dimulai. Lihat saja! Si Gendut
itu masih mengganjal pintu. Gayanya yang khas dengan jam tangan hitam yang
seperti terjepi di pergelangan tangannya sebelah kiri. Ihh, tampaknya makanan
yang dijejal masuk ke mulutnya hanya bisa pasrah, kebab di kantin pasti
lagi-lagi sold out gara-gara dia. Eh, itu juga! Si rempong masih aja duduk
dipinggir lorong. Gak berubah! Masih dengan benda-benda aneka warna yang memenuhi
setiap genggaman tanganya. Dia menulis atau mewarnai? Ahh, susah dibedakan.
“ Hey! Kenapa kalian masih
santai di luar?” Suara ini pasti dari wanita paruh baya yang kumaksud tadi.
Tanpa merubah ritme berjalanku aku menyusuri kelas dan duduk di bangkuku.
“Apakah kalian sudah siap untuk
ulangan?” apa? Ulangan? Aduh! Tadi aku
asyik tidur lagi. Mana di rumah aku gak pernah belajar. Tapi, aku mau gak mau
harus ulangan. Ya udah deh, ulangan aja.
“SUDAH Buuu!! Eh kok diem
semua? Kenapa?” Loh? kok aku sendiri yang
nyahut, bukannya mereka lebih siap ulangan daripada aku?
“Kamu itu ya Fred pasti lain
sendiri, orang baru mau masuk bab 2 kok malah mau ulangan. Bu guru bercanda
kali, hahaha” Eh, bego! Si Ningrum malah
ngetawain aku lagi. Hello, kemana aja aku terus materi sendiri aku gak tau.
“Fred kamu mau ulangan? Ulangan
aja sendiri gih!” Eh, gendut diem gak!
Ntar aku kempesin tuh usus. Yah, kok aku jadi bego sendiri gitu ya?
“Si Fredrix mau ulangan ngebaca
komik, jiahahaha” huss, si Rempong ini
juga ikut-ikutan. Sial!
“Braak, sudah-sudah! Mungkin
aja temen kalian baru bangun jadi sedikit linglung. Sekarang buka Bab Reaksi
Redoks dan baca ringkasan materinya 10 menit!” Ihh, guru ini bikin kaget aja, mejanya gak perlu dipukul juga kali bu…
Ia berjalan gontai menuju tempat duduknya, malas sepertinya.
“Fred, emangnya ente udah
kemana si? Masih pagi juga udah ilang aja.”
“Biasa, aku naik noh ke atap.
Ngantuk abis olah raga.”
“Gak ngaja-ngajak kamu nih!”
“Lol. Ngapain aku ngajakin
kamu, dikatain homo nanti”
“Ye, kamu mah lain aja dah. Itu
tuh si Jono nyariin kamu tadi. Katanya ada duel sama kamu pulang sekolah ya?”
“Eh Ris, kamu ini berisik
banget sih! Baca aja tuh Redoks, jangan banyak nanyak. Ntar dihantem sepatu si killer baru tau rasa!”
“Oh lupa ane, hehe..”
***
“Fredrix William absen 12 maju
kerjakan nomer 2!” Suara guru Kimia itu membuat Fredrix kaget. Tumbenan saja
dia di suruh mengerjakan di papan.
“Ehh, tapi saya belum mengerti
bu!” Fredrix menolak cepat.
“Apa yang kamu kerjakan dari
tadi? Pokoknya maju kerjakan cepat!” Ia berkata lantang dan lagi membuat Frerix
gugup.
“Tapi, saya tidak bisa! Saya
tidak mengerti sedikitpun tentang hal ini!” Fredrix berani angkat suara walau
tangannya sedikit gemetar.
“Apa? Kamu bilang kamu tidak
mengerti sedikitpun? Hey! Fredrix. Kamu sudah kelas XII dan materi ini adalah
materi lanjutan dari materi kelas X!” Guru Kimia itu mulai geram.
“Sungguh bu! SAYA TIDAK
MENGERTI! Bagaimanapun Ibu harus menyuruh saya, saya juga tidak akan mengerti!”
Fredrix berkata cukup lantang dan terduduk lesu dibangkunya.
“Lalu, kamu maunya apa hah? Satu
bab lagi kamu akan menempuh mid semester, kalo begini terus kapan kamu bisa
tuntas!” Guru itu terus menyudutkannya.
“Deg..”
Mid
semester? Fredrix memutar otak mencerna semuanya. Sial! Umpatnya dalam hati. Baru
saja aku mau mencoba belajar dari awal, eh malah mid semester? Ia terdiam.
Sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia merasa bersalah bahwa selama ini ia tidak
menyadari bahwa waktu berjalan sangat cepat, sedangkan ia? Ia berjalan di
tempat. Tidak berpindah sedikitpun ke posisi yang lebih baik. Ia berfikir bahwa
sudah terlambat baginya untuk memulai. Disaat baru saja ia mencoba untuk
memulai, ia ingin menyerah. Sungguh payah.
***
Pukul 14.00 seluruh siswa di
sekolah beranjak pulang dengan cepat. Mereka tak sabar ingin menikmati hidangan
yang tentunya sudah disiapkan untuk makan siang mereka. Lapar rasanya. Seharian
menuntut ilmu di sekolah dengan istirahat hanya 30 menit. Berbeda halnya dengan
salah seorang siswa aneh ini. Ia bukannya menuju rumahnya tetapi malah mampir
ke salah satu “kedai” game di samping sekolahnya. Mau beli G-cash rupanya. Uang
jajan untuk hari ini sengaja tidak digunakan hanya untuk mengupgrade charnya. Persiapan duel sama si
Jono. Padahal, sebelumya ia pernah sadar bahwa yang ia lakukan sia-sia. Tapi,
apa boleh buat? Ia sudah adiksi dengan hal itu. Sulit lepas. Bak pecandu
narkoba yang sakau jika ia tidak ngegame barang satu hari. Ia lupa kejadian
saat gurunya ngoceh kalau ia sudah kelas XII dan harus siapin ini itu untuk ke
depannya. Pecandu tetaplah pecandu dan gamer setara dengan itu. Jika pecandu
sangat membutuhkan narkotika, maka gamer sangat membutuhkan koneksi internet.
Persoalan kecanduan ini telah terjadi pada banyak orang, dan ia salah satunya.
G-cash sudah didapat, sekumpulan equipment sudah diupgrade sekarang waktunya duel. Nggak
perlu ketemu di satu tempat. Cukup bermodalkan Hotspot ia sudah memulai aksinya. Jono. Orang yang tadi pagi
repot-repot dateng ke kelasnya buat nantangin dia ngegame juga suda online.
Mereka mulai “party” and “duty”. Hmm, sulit untuk memahami lebih lanjut apa
yang mereka lakukan. Suara keyboard yang berdecit setiap kali ia menuliskan
huruf dan suara keras dari speaker komputernya pun beradu. Komputer gamer
dengan layar lebar sebanyak 3 buah monitor tersusun di atas meja tersebut. Ntah
untuk apa monitor sebanyak itu. Kamarnya sengaja di buat kedap suara, karena ia
biasanya kalo maen game bakalan ribut. Belum lagi speakernya yang di setting
full. Bikin rame dan tentunya bakalan gaduh satu rumah. Ntah apa yang
memberikan orang tuanya alasan untuk membiarkannya begitu memiliki kebebasan
untuk melakukan apapun. “Biarkan saja ia
melakukan apa yang ia inginkan, jika ia bersungguh-sungguh maka aka nada hasil
yang bisa ia capai” Ibunya mengatakan hal itu, sehingga rasa bebas yang ia
miliki “mungkin” sedikit berlebihan. Ayahnya yang sibuk dengan pekerjaannya,
serta ibunya yang sibuk bergelut di dunia medisnya tak membuatnya merasa kurang
perhatian. Baginya “No attention, no
responsibility!”. Cukup jelas mengapa ia melakukan sesuatu seolah-olah
sekehendak dan semaunya. Jelaslah! Ia tak banyak menuntut dan tak banyak
dituntut. Hanya kesadaran dirinyalah, yang bisa membuatnya sadar dan terbangun
akan apa yang ia lakukan.
***
Untuk kedua
kalinya, setelah lama ia tidak menginjakkan kakinya di ruang guru. Ia dipanggil
secara langsung oleh guru kimianya. Pernah sekali ia ke sana, dulu saat ia baru
masuk kelas X. Sekaranglah kali kedua, tapi ia merasa sedikit canggung. Ia
merasa aneh, karena siswa yang “biasa” seperti dia sangat jarang memasuki
ruangan tenaga pengajar. Tak asing, jika hanya siswa aktif dan berprestasi yang
sering bolak-balik masuk ruangan itu.
“ Fredrix, kau sadar jika sebentar lagi akan mid semester?”
guru killer itu membuka pembicaraan.
“Tidak begitu, hanya saja saya tidak tau harus bagaimana
jika mid semester Bu” Ia menunduk sedikit malu.
“Lah, piye kamu
Nak, kamu ini harusnya belajar. Ibu tau orang tua kamu itu sangat
berpendidikan! Aneh saja jika kamu tidak memiliki kemampuan seperti mereka!”
Guru itu mulai tak sabaran.
“Saya tidak dituntut banyak dan bisa menyamai mereka, saya
tidak bisa memaksakan diri menjadi orang lain. Saya memang sempat berfikir akan
hal itu, tetapi saya merasa nyaman dengan diri saya saat ini” Ia memberanikan
diri menatap guru itu secara langsung.
“Apa rencana kamu?” Guru itu menatap sinis.
“Saya tidak bisa mengatakannya, tetapi pastinya ada” Ia
berkata mantap.
“Seminggu lagi mid semester, dan ibu tidak mau tau jika kamu
GAGAL! Kamu harus berubah dan memulai sesuatu yang berguna!” Ia menyilang
tangannya dan member sedikit penekanan pada kata gagal.
“Saya akan berusaha, tapi saya tidak tau apa yang akan
terjadi.” Ia membungkuk sedikit dan pergi.
***
2
minggu setelah itu..
Siswa bergerombol memadati balkon. Disana telah ditempel
sederetan nama dan nilai hasil mid semester minggu kemarin. Mereka
berdesak-desakan dan mulai menempelkan jari mereka menelusuri deretan nama itu.
Sebagian merasa senang dan tak tahan untuk berteriak. Sepertinya suasana disana
sangat sesak. Mereka heboh banget deh pokoknya. Eh, tapi kok ada yang
menjauhkan diri. Hmm, gak asing sih ngeliat anak seperti Fredrix yang bisanya
cumin menjadi “pemantau”. Dia belum berani mendekat ke papan pengumuman itu. Ia
sedikit ragu karena mungkin kali ini ia tetap gagal seperti biasanya. Suasana
keramaian di sana semakin menjadi dan ia pun pergi. Atap! Yup tepat sekali,
tempat paling nyaman untuknya melepaskan semua kegaduhan dan kebisingan di
sekolahnya. Sekolahnya yang lantai 3 itu, memang terkenal sekolah elite
meskipun siswanya ada yang elite dan rada-rada mainstream alias biasa. Biasa
dan bisanya modal tampang. Gejala pengumuman hasil mid semester menyeruak di
seluruh ruang kelas. Trending topic hari ini ya “Mid semester”. Dia sih gak
terlalu sibuk buat ikut nimbrung di kumpulan-kumpulan maniak nilai itu. Dia
malahan asyik mikirin gimana lanjutan dari anime Shingeki No Kyojin. Sedikit
aneh, dia memutar balikkan posisinya yang tidur menatap langit di atas atap.
Gelisah. Ia sepertinya dia gelisah. Liat saja, bola matanya berputar seakan
berfikir keras. Bahkan ia terlihat mengeluarkan selembar kertas dari sakunya.
Dasinya yang menggelantung di kendorkan dan di lepas. Ah, kenapa ia terbangun?
Ia berlari cepat menuruni anak tangga dan langsung bergabung dalam
desak-mendesak di kumpulan siswa yang ingin melihat nilai mereka di papan
pengumuman. Ia berhasil menyusup di sana. Ia mulai mengedarkan matanya di sana.
Absen 12, Fredrix William, kelas XII IPA 1 : Matematika 8,20, Bahasa Inggris 9,50,
Fisika 4,80, Biologi 9,00, Kimia 5,20, Bahasa Indonesia 8,00, Sejarah 6,80,
Seni rupa 8,50, Bahasa Asing 7,00 dan bla b la bla. Ia menatap datar, tidak
tersenyum tidak juga tampak sedih. Dia tahu hasilnya segitu-segitu aja. Nilai
yang sangat fluktuatif. Gimana nggak? Nilai tertinggi 9,50 dan terendah 4,80.
Ia menatap kertas yang ia pegang di atap tadi dan meremasnya. Rupanya ia
lagi-lagi gagal! Sudah biasa baginya. Tapi kali ini sedikit sakit. Kenapa? Karena
baru kali ini ia merasakan ada dorongan dari dirinya untuk berhasil di mid
semester kali ini. Sejak mimpi dan pemikiran-pemikiran optimis itu muncul.
TBC..
Yoyoo..
Gimana nih si Fredrix? Makin lama makin ngenes aja kan..
Yoyoo..
Gimana nih si Fredrix? Makin lama makin ngenes aja kan..
Jangan lupa buat pantengin part
selanjutnya ya…
Next update....
Bam! Just Try it!
Perubahan perlahan merasuki dirinya. Koneksi terputus. Penolakan hati. Ayah menyadari kesalahan mendidiknya. Fredrix mulai dituntut. Fatal.
0 komentar:
Posting Komentar